By Setyawati Fitrianggraeni, Taufik Nuariansyah Tanjung
Pengantar
Pada tanggal 3 Januari 2025 Mahkamah Konstitusi RI dalam putusan nomor 83/PUU-XXII/2024 menyatakan norma Pasal 251 Kitab Undang-Undang Hukum Dagang (”KUHD”) sebagai inkonstitusional bersyarat. Mahkamah Konstitusi menilai bahwa norma Pasal 251 KUHD tidak secara tegas mengatur mengenai mekanisme syarat batal atau tata cara pembatalan dilakukan jika terdapat hal-hal yang disembunyikan dalam membuat perjanjian, kecuali sekadar ada pilihan akibat yang dapat timbul, yaitu perjanjian tersebut batal atau perjanjian tersebut tidak akan diadakan atau akan diadakan dengan syarat yang berbeda, jika hal-hal yang keliru atau disembunyikan tersebut diketahui sebelumnya. Dengan adanya Putusan ini menyatakan norma tersebut inkonstitusional bersyarat, yang berarti bahwa pembatalan perjanjian asuransi harus didasarkan atas kesepakatan antara penanggung dan tertanggung atau berdasar putusan Pengadilan, bukan tindakan sepihak dari penanggung[1] Makna dari Inkonstitusional bersyarat adalah pasal yang dimohonkan diuji dinyatakan bertentangan secara bersyarat dengan UUD 1945. Artinya, pasal yang dimohonkan diuji tersebut adalah inkonstitusional jika syarat yang ditetapkan MK tidak dipenuhi.
Perjanjian Asuransi: Pengertian dan Tujuan
Pasal 246 KUHD mendefinisikan perjanjian asuransi sebagai perikatan di mana penanggung, dengan menerima premi, berkewajiban memberikan ganti rugi kepada tertanggung atas kerugian, kerusakan, atau kehilangan keuntungan akibat peristiwa tak pasti. Sementara itu, Pasal 1 angka 1 UU No. 40 Tahun 2014 tentang Perasuransian memperluas definisi ini, mencakup penggantian kerugian atau pembayaran berdasarkan hidup/meninggalnya tertanggung.3 Intinya, asuransi bertujuan mengalihkan risiko finansial dari tertanggung ke penanggung, menciptakan keseimbangan dalam hubungan kontraktual yang menjadi dasar pertimbangan MK.
Perjanjian asuransi memiliki karakteristik khusus yang membedakannya dari perjanjian umum, salah satunya adalah prinsip iktikad baik (utmost good faith). Prinsip ini, yang tercermin dalam Pasal 251 KUHD, mewajibkan tertanggung mengungkapkan fakta material secara jujur dan melarang misrepresentation.4 Prinsip lain seperti kepentingan yang dapat diasuransikan, ganti rugi, dan subrogasi (Pasal 250, 252, 253, 284 KUHD) juga mendukung esensi perjanjian asuransi, namun iktikad baik menjadi fokus utama dalam putusan MK.
Pertimbangan Mahkamah Konstitusi terhadap Norma Pasal 251 KUHDagang
Pasal 251 KUHD memberikan hak kepada penanggung untuk membatalkan perjanjian asuransi atau menolak klaim jika tertanggung tidak mengungkapkan fakta material, sesuai prinsip iktikad baik yang mencakup kewajiban pengungkapan (duty of disclosure) dan larangan misrepresentation.5 Namun, MK menilai norma ini bermasalah karena: (1) berpotensi multitafsir, terutama jika tertanggung menyembunyikan fakta dengan iktikad baik; (2) iktikad baik seharusnya menjadi dasar perjanjian, bukan alasan pembatalan sepihak; dan (3) sebagai ranah hukum perdata, pembatalan harus berdasarkan kesepakatan atau putusan pengadilan, bukan keputusan sepihak penanggung.6 MK menegaskan bahwa sengketa asuransi harus diselesaikan melalui mediasi atau pengadilan sebagai upaya terakhir.
Implikasi Putusan MK Nomor 83/PUU-XXII/2024
Putusan ini membawa dampak signifikan bagi pelaku industri asuransi:
Dampak pada Sistem Hukum
Mahkamah memberikan penegasan dan pemaknaan terhadap Pasal 251 KUHD dimana untuk memberikan perlindungan dan kepastian hukum yang adil, Pasal 251 KUHD adalah sepanjang tidak dimaknai dengan termasuk berkaitan dengan pembatalan pertanggungan harus didasarkan atas kesepakatan penanggung dan tertanggung atau berdasarkan putusan pengadilan, sehingga terdapat 2 metode penyelesian pembatalan asuransi yaitu dengan kesepakatan penanggung dan tertanggung atau dengan penyelesaian melalui gugatan di pengadilan yang kemungkinan akan meningkatkan jumlah sengketa asuransi yang diselesaikan melalui pengadilan.
Perbandingan Sebelum dan Sesudah Putusan MK
Sebelum putusan, penanggung dapat membatalkan kontrak sepihak berdasarkan Pasal 251 KUHD, meninggalkan tertanggung rentan dengan proses informal dan biaya rendah bagi penanggung.
Berikut adalah perbandingan praktik pembatalan asuransi sebelum dan sesudah putusan MK untuk memberikan gambaran yang lebih terstruktur:
Aspek | Sebelum Putusan MK | Sesudah Putusan MK |
Wewenang Pembatalan | Penanggung dapat membatalkan sepihak berdasarkan Pasal 251 KUHD | Pembatalan harus berdasarkan kesepakatan atau putusan pengadilan |
Perlindungan Tertanggung | Rentan terhadap pembatalan sepihak, terutama jika ada kesalahan pengungkapan | Lebih terlindungi, proses lebih adil melalui mediasi atau pengadilan |
Biaya Operasional Penanggung | Relatif rendah, karena dapat langsung membatalkan kontrak | Meningkat, karena mungkin perlu litigasi atau negosiasi |
Proses Penyelesaian Sengketa | Kurang formal, sering diselesaikan internal oleh penanggung | Lebih formal, melibatkan mediasi atau pengadilan |
Kesimpulan dan Prospek Ke Depan
Putusan MK Nomor 83/PUU-XXII/2024 mengubah paradigma asuransi di Indonesia dengan mengutamakan perlindungan konsumen dan keadilan kontraktual. Meski menguntungkan tertanggung, perusahaan asuransi perlu menyesuaikan operasionalnya. Perusahaan asuransi perlu untuk meningkatkan kualitas proses bisnis, terutama dalam underwriting dan manajemen risiko. Dengan pemahaman yang baik, perusahaan asuransi dapat lebih cermat dalam menilai calon nasabah, sehingga dapat meminimalisir pembatalan polis atau penolakan klaim yang berpotensi menimbulkan sengketa. Selain itu, dalam perjanjian asuransi perlu disesuaikan beberapa klausul khususnya mengenai pembatalan.
Referensi :
Setyawati Fitrianggraeni serves as Managing Partner at Anggraeni and Partners in Indonesia and Assistant Professor at the Faculty of Law, University of Indonesia, while pursuing her PhD at the World Maritime University in Malmö, Sweden and Taufik Nuariansyah Tanjung is an Associate in the Practice Group Advisory and Commercial Transaction at Anggraeni and Partners.
For further information, please contact:
P: 6221. 7278 7678, 72795001
H: +62 811 8800 427
Anggraeni and Partners, an Indonesian law practice with a worldwide vision, provides comprehensive legal solutions using forward-thinking strategies. We help clients manage legal risk and resolve disputes on admiralty and maritime law, complicated energy and commercial issues, arbitration and litigation, tortious claims handling, and cyber tech law.
S.F. Anggraeni
Managing Partner
Taufik Nuariansyah
Associate