Berdasarkan Konvensi Internasional tentang Penangkapan Kapal Tahun 1999 (“1999 Arrest Convention“), penangkapan didefinisikan sebagai penahanan atau pembatasan pemindahan kapal atas perintah Pengadilan untuk mengamankan klaim maritim, tetapi tidak termasuk penyitaan kapal dalam eksekusi atau pemenuhan putusan atau instrumen lain yang dapat dilaksanakan.[2] Namun, penting untuk dicatat perbedaan antara penangkapan dan penahanan kapal. Penangkapan bertujuan untuk mencegah kapal bergerak sambil menunggu penyelesaian klaim dan untuk mencegah pemiliknya menikmati keuntungan apa pun.[3] Sedangkan, sebuah kapal dikenakan penahanan karena kapal tersebut gagal memenuhi standar yang ditentukan oleh konvensi internasional yang berkaitan dengan status teknis kapal, operasinya, kepegawaian, dan kondisi kelayakan, setelah diperiksa oleh Port State Control (PSC).[4] Saat ini, penangkapan kapal diatur oleh 1999 Arrest Convention yang memperbarui ketentuan 1952 International Convention Berkaitan dengan Penangkapan Kapal Laut (“1952 Arrest Convention“).[5] Dalam konteks nasional, Indonesia bukan merupakan pihak dalam 1999 Arrest Convention dan 1952 International Convention. Namun, saat ini penangkapan kapal telah diatur dengan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 (“UU Pelayaran“). Meskipun penangkapan kapal dalam yurisdiksi Indonesia telah diperbolehkan sejak berlakunya UU Pelayaran, praktik penangkapan kapal di Indonesia masih relatif baru.[6]
Hub maritim internasional memiliki kejelasan dalam hukum, prosedur, dan praktik penangkapan kapal sebagai bagian dari penyelesaian sengketa maritim. Jika Indonesia serius dengan aspirasinya untuk ekonomi biru dan menjadi poros maritim, Indonesia harus segera menetapkan kepastian untuk aspek hukum maritim ini.
UU Pelayaran tidak memberikan definisi penangkapan kapal. Namun, perintah penangkapan kapal oleh pengadilan dalam perkara perdata berupa klaim maritim sebagaimana ditentukan dalam Pasal 223 ayat (1) UU Pelayaran secara tidak langsung mengacu pada definisi klaim maritim sebagaimana ditentukan dalam 1999 Arrest Convention.[7]
Menurut Pasal 222 ayat (1) UU Pelayaran, Syahbandar hanya dapat menahan kapal di pelabuhan atas perintah tertulis pengadilan. Syahbandar adalah pejabat pemerintah di pelabuhan yang diangkat oleh Menteri dan memiliki kewenangan tertinggi untuk menjalankan dan melakukan pengawasan terhadap dipenuhinya ketentuan peraturan perundang- undangan untuk menjamin keselamatan dan keamanan pelayaran.[8] Syahbandar hanya dapat menangkap kapal jika telah menerima perintah tertulis dari pengadilan.[9]
Penangkapan kapal berdasarkan perintah tertulis tersebut, dapat dilakukan dengan alasan: (i) kapal yang bersangkutan terkait dengan perkara pidana; atau (ii) kapal yang bersangkutan terkait dengan perkara perdata.[10] Sehingga, perintah penangkapan dalam bentuk klaim maritim dibuat tanpa menjalani proses gugatan.[11] “Klaim maritim tersebut dapat timbul karena sejumlah alasan, termasuk:[12] (i) kerugian atau kerusakan yang disebabkan oleh pengoperasian kapal; (ii) hilangnya nyawa atau cedera serius yang terjadi baik di darat maupun di perairan atau laut akibat pengoperasian kapal; dan (iii) kerusakan lingkungan, kapal atau muatannya sebagai akibat dari operasi penyelamatan atau perjanjian penyelamatan.
Menurut Pasal 223 ayat (2) UU Pelayaran, tata cara penangkapan kapal diatur lebih lanjut dengan Peraturan Menteri.[13] Namun, hingga saat ini, peraturan menteri tersebut belum ditetapkan.
Aspek penting lainnya yang diharapkan akan diatur adalah praktik internasional mengeluarkan letter of undertaking dan Letters of Indemnity (LOI) untuk pelepasan kapal. Praktik standar di yurisdiksi lain harus diatur karena pembebasan kapal yang ditahan sama pentingnya dengan penangkapan dan penahanan kapal. Peraturan yang tidak lengkap dapat mengakibatkan penahanan yang lama jika Pengadilan gagal bertindak dengan cepat setelah penangkapan kapal.
Dalam upaya mengatur penangkapan kapal, telah dibentuk Rancangan Peraturan Menteri Perhubungan tentang Tata Cara Penangkapan Kapal di Pelabuhan, berdasarkan hasil dengar pendapat publik di Jogjakarta pada tanggal 1 Oktober 2020 (“Rancangan Peraturan Menteri“). Meskipun memiliki pengertian mendasar yang serupa, bertentangan dengan UU Pelayaran, Peraturan Menteri secara tegas memberikan definisi khusus tentang Penahanan Kapal, yaitu, tindakan yang diambil oleh Syahbandar untuk membatasi pergerakan kapal yang meninggalkan Pelabuhan, yang terkait dengan kasus pidana atau kasus perdata berdasarkan perintah tertulis dari Pengadilan.
Rancangan Peraturan Menteri memberikan penjelasan yang lebih luas dan rinci tentang teknis penangkapan kapal. Salah satu fitur barunya adalah ketentuan mengenai prosedur penangkapan kapal yang terkait dengan kasus pidana. Prosedur tersebut dilakukan melalui penyitaan kapal untuk keperluan pembuktian dalam penyidikan, penuntutan dan persidangan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.[15] Penyitaan tersebut dilakukan oleh Penyidik berdasarkan penetapan Pengadilan.[16] Selain itu, Rancangan Peraturan Menteri juga memungkinkan peminjaman-penggunaan kapal sitaan oleh Pemilik Kapal atau pihak yang berwenang.[17]
Mirip dengan UU Pelayaran, Rancangan Peraturan Menteri memungkinkan penangkapan kapal dalam kasus perdata dalam bentuk klaim maritim tanpa mengajukan gugatan. Namun, yang terakhir berbeda karena secara eksplisit merujuk pada 1999 Arrest Convention. Menurut Pasal 17 ayat (1) Rancangan Peraturan Menteri, penangkapan kapal tersebut dapat dilakukan berdasarkan satu atau lebih klaim maritim berdasarkan 1999 Arrest Convention atau ketentuan peraturan perundang-undangan.[18] Pada prinsipnya, klaim yang tercantum dalam penjelasan Pasal 223 ayat (1) UU Pelayaran, serupa dengan yang tercantum dalam Pasal 17 ayat (2) Rancangan Peraturan Menteri.[19] Selain itu, penangkapan kapal dapat dilakukan di luar yurisdiksi Indonesia di pelabuhan negara-negara penandatangan 1999 Arrest Convention.[20] Ketentuan mengenai klasifikasi kapal yang dapat ditangkap dan ruang lingkup yurisdiksi penangkapan tersebut tidak diatur dalam UU Pelayaran.
Selain itu, ketentuan penting lainnya yang termasuk dalam Rancangan Peraturan Menteri, berbeda dengan UU Pelayaran, menyangkut penegakan putusan arbitrase dalam pelaksanaan penangkapan kapal. Berdasarkan Rancangan Peraturan Menteri, penangkapan kapal dapat dilakukan berdasarkan: (i) putusan arbitrase nasional/arbitrase syariah nasional; atau (ii) putusan arbitrase internasional/arbitrase syariah internasional.[21] Dalam kedua kasus tersebut, penangkapan kapal dilakukan oleh Syahbandar. Namun, yang pertama, penangkapan dilakukan setelah diterimanya pemberitahuan tertulis tentang putusan Pengadilan, yaitu perintah eksekusi untuk penegakan putusan arbitrase nasional/arbitrase syariah nasional.[22] Sedangkan yang terakhir dilakukan setelah diterimanya pemberitahuan tertulis perintah pelaksanaan putusan arbitrase internasional/arbitrase syariah internasional, berdasarkan Putusan Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Pusat/Pengadilan Agama Jakarta Pusat.[23] Akan menarik untuk melihat bagaimana peraturan ini akan dipraktikkan. Mengingat jadwal saat ini dan kesulitan dalam mendaftarkan putusan arbitrase di Indonesia di tempat pertama, akan menarik untuk melihat apa yang dapat dilakukan oleh Syahbandar ketika seorang Syahbandar memutuskan untuk meninggalkan pelabuhan, sementara Penggugat sedang menunggu untuk mendaftarkan putusan Arbitrase di Pengadilan.
Namun, setelah mempertimbangkan bahwa Rancangan Peraturan Menteri masih belum diselesaikan dan diterbitkan, efektivitasnya hanya dapat dinilai berdasarkan implementasinya, yang belum dapat dipantau.
Hingga saat ini, belum ada Peraturan Menteri yang secara khusus mengatur tata cara penangkapan kapal. Namun, pemerintah melalui Kementerian Perhubungan telah menyusun Peraturan Menteri Perhubungan tentang Tata Cara Penangkapan Kapal di Pelabuhan. Rancangan Peraturan Menteri merupakan peraturan yang mengisi kekosongan penting dalam UU Pelayaran di Indonesia. Saat ini, prosedur penangkapan kapal hanya diatur dalam UU Pelayaran. Menurut penulis, pengesahan rancangan Peraturan Menteri tersebut diperlukan sebagai upaya memberikan kepastian hukum dan tata cara yang jelas atas penahanan dan penangkapan kapal di Indonesia.
Referensi
[1] Setyawati Fitrianggraeni holds the position of Managing Partner at Anggraeni and Partners in Indonesia. She also serves as an Assistant Professor at the Faculty of Law, University of Indonesia, and is currently pursuing a PhD at the World Maritime University in Malmo, Sweden. Additionally, Melvin Julian is a Middle Associate at Anggraeni and Partners, and Irvena Ayunya Dewanto is a Junior Associate at Anggraeni and Partners. The writers express their gratitude to Dr. Hary Elias for generously dedicating his time to provide valuable feedback on their article.
[2] 1999 International Convention on Arrest of Ships, Article 1 Number 2.
[3] Immanuel A. Indrawan, ‘Ship Arrest in Indonesia and Cross-Border Maritime Dispute’ (2017) 14 (4) Indonesian Journal of International Law < https://scholarhub.ui.ac.id/ijil/vol14/iss4/2 > accessed 5 February 2024.
[4] Anna Merika, Xakousti-Afroditi Merika, Theodore Syripoulos, ‘Global Port Detentions: Impact on Financial Performance in the Maritime Sector’ The American College of Greece Working Paper Series <http://acg150.acg.edu/working-paper-series/> accessed 5 February 2024.
[5] Jelena Nikčević Grdinić, Gordana Nikčević, ‘Arrest of Ships – The International Conventions on Arrest of Ships’ (2012) 1 (2) Transactions on Maritime Science <https://hrcak.srce.hr/89214> accessed 5 February 2024.
[6] Indrawan, ‘Penangkapan Kapal di Indonesia’ (n 4)
[7] Shipping Law, Elucidation of Article 223 par. (1).
[8] Ibid, Article 1 number 56.
[9] Ibid, Article 222 par. (1).
[10] Ibid, Article 222 par. (2).
[11] Ibid, Article 223 par. (1).
[12] Ibid, Elucidation of Article 223 par. (1), “Maritime claim pursuant to the provisions regarding the arrest of ships may arise due to the following reasons:
[13] Ibid, Article 233 par. (2).
[14] Draft Regulation of the Minister of Transportation on Procedures for Ship Arrest, Article 1 par. (1).
[15] Ibid, Article 5 par. (1).
[16] Ibid, Article 5 par. (2).
[17] Ibid, Article 7 par. (1).
[18] Ibid, Article 17 par. (1).
[19] Ibid, Article 18 par. (1).
[20] Ibid, Article 18 par. (2).
[21] Ibid, Article 22 par. (1).
[22] Ibid, Article 22 par. (2).
[23] Ibid, Article 22 par. (3).
DISCLAIMER:
Penafian berikut ini berlaku untuk publikasi artikel oleh Anggraeni and Partners. Dengan mengakses atau membaca artikel yang dipublikasikan oleh Anggraeni and Partners, Anda mengakui dan menyetujui syarat-syarat dalam penafian ini:
Bukan Nasihat Hukum: Artikel-artikel yang dipublikasikan oleh Anggraeni and Partners hanya bersifat informatif dan tidak merupakan nasihat hukum. Informasi yang disajikan dalam artikel tidak dimaksudkan untuk membentuk hubungan advokat-klien antara Anggraeni and Partners dan pembaca. Artikel-artikel tidak boleh dijadikan sebagai pengganti untuk mencari nasihat hukum profesional. Untuk nasihat hukum spesifik yang disesuaikan dengan keadaan Anda, silakan berkonsultasi dengan advokat yang berkualifikasi.
Akurasi dan Kelengkapan: Anggraeni and Partners berusaha untuk menjamin akurasi dan kelengkapan informasi yang disajikan dalam artikel-artikel. Namun, kami tidak menggaransi atau tidak menjamin keakuratan, kelengkapan, atau kebaruan informasi tersebut. Hukum dan interpretasi hukum dapat bervariasi, dan informasi dalam artikel mungkin tidak berlaku untuk yurisdiksi Anda atau situasi khusus Anda. Oleh karena itu, Anggraeni and Partners menyangkal segala tanggung jawab atas kesalahan atau kelalaian dalam artikel-artikel tersebut.
Tidak Ada Rekomendasi: Referensi atau penyebutan organisasi, produk, layanan, atau situs web pihak ketiga dalam artikel-artikel hanya bersifat informatif dan tidak merupakan dukungan atau rekomendasi oleh Anggraeni and Partners. Kami tidak bertanggung jawab atas keakuratan, kualitas, atau kehandalan informasi atau layanan pihak ketiga yang disebutkan dalam artikel-artikel.
Tidak Ada Tanggung Jawab: Anggraeni and Partners, mitra, pengacara, karyawan, atau afiliasi tidak bertanggung jawab atas kerugian langsung, tidak langsung, kebetulan, konsekuensial, atau khusus yang timbul dari atau sehubungan dengan penggunaan artikel-artikel atau ketergantungan pada informasi yang terkandung di dalamnya. Ini termasuk, namun tidak terbatas pada, kehilangan data, kehilangan keuntungan, atau kerusakan yang timbul akibat penggunaan atau ketidakmampuan untuk menggunakan artikel-artikel tersebut.
Tidak Ada Hubungan Advokat-Klien: Membaca atau mengakses artikel-artikel tidak membentuk hubungan advokat-klien antara Anggraeni and Partners dan pembaca. Informasi yang disajikan dalam artikel-artikel bersifat umum dan mungkin tidak berlaku untuk situasi hukum spesifik Anda. Setiap komunikasi dengan Anggraeni and Partners melalui artikel-artikel atau melalui formulir kontak di situs web tidak membentuk hubungan advokat-klien atau menjadikan informasi tersebut bersifat rahasia.
Dengan mengakses atau membaca artikel-artikel tersebut, Anda mengakui bahwa Anda telah membaca, memahami, dan menyetujui penafian ini. Jika Anda tidak setuju dengan bagian mana pun dalam penafian ini, mohon untuk tidak mengakses atau membaca artikel-artikel yang dipublikasikan oleh Anggraeni and Partners.
Untuk informasi lebih lanjut, silakan hubungi:
P: 6221. 7278 7678, 72795001
H: +62 811 8800 427
Anggraeni and Partners, sebuah firma hukum Indonesia dengan visi global, menyediakan solusi hukum yang komprehensif dengan strategi yang progresif. Kami membantu klien mengelola risiko hukum dan menyelesaikan sengketa dalam hukum laut dan pelayaran, masalah energi dan komersial yang kompleks, arbitrase dan litigasi, penanganan klaim tort, dan hukum teknologi siber.
S.F. Anggraeni
Managing Partner
Melvin Julian
Middle Associate
Irvena Ayunya Dewanto
Junior Associate