by Setyawati Fitrianggraeni, Orima Melati Davey and Alicia Daphne Anugerah*
Indonesia merupakan negara kepulauan yang disatukan oleh wilayah laut yang sangat luas dengan batas-batas dan hak-hak yang ditetapkan dengan undang-undang. Dalam upaya mencapai tujuan nasional berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, dan untuk mewujudkan wawasan nusantara dan memperkukuh ketahanan nasional, maka sistem transportasi nasional sangat diperlukan untuk mendukung pertumbuhan ekonomi, pengembangan wilayah, serta memperkuat kedaulatan Negara Kesatuan Republik Indonesia[1] Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran telah berumur 16 tahun, sehingga perlu dilakukan amandemen untuk menyesuaikan dengan kebutuhan masyarakat dan perkembangan zaman. Oleh karena itu, pada tanggal 30 September 2024, Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR-RI) secara resmi mengesahkan Perubahan Ketiga atas Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran.
Perubahan utama meliputi penyempurnaan regulasi untuk mendukung angkutan laut tradisional, ketentuan yang mengatur kewajiban pelayanan publik, penguatan asas cabotage melalui pengaturan usaha patungan di bidang angkutan perairan, pengaturan usaha jasa terkait sebagai usaha patungan, insentif keuangan dan perpajakan untuk memberdayakan industri angkutan laut dan galangan kapal, pelibatan asosiasi penyedia dan pengguna jasa dalam penentuan tarif jasa kepelabuhanan yang ditetapkan oleh operator pelabuhan, pengaturan registrasi kapal pada perusahaan patungan, pengawasan terhadap pelayanan pemanduan dan penggunaan kapal tunda, perampingan birokrasi kepelabuhanan, serta penguatan pengawasan fungsi navigasi. Ulasan ini akan menguraikan perbedaan antara dua instrumen per kategori yang relevan, dan dampak apa yang diharapkan dari revisi ini. Amandemen UU No. 17 tahun 2008 memberikan pengukuran yang menyeluruh untuk standar risiko dan keselamatan. Memahami transisi ini akan bermanfaat bagi perusahaan untuk beradaptasi dan mendapatkan stabilitas yang sangat dibutuhkan dalam waktu dekat.
Undang-Undang Pelayaran Nomor 17 Tahun 2008 pada awalnya mengatur bahwa usaha patungan antara perusahaan angkutan laut nasional dan perusahaan angkutan laut asing untuk memiliki kapal dengan ukuran minimal 5.000 GT. Pada Rancangan Undang-undang yang baru (”RUU”), perusahaan pelayaran patungan diwajibkan memiliki kapal dengan ukuran minimal 50.000 GT. Merujuk pada klausul ini, pemerintah Indonesia ingin meminimalisir kemungkinan adanya aspek asing dalam kepemilikan kapal. Terlebih, RUU Pelayaran yang baru mewajibkan perusahaan angkutan laut Indonesia untuk memiliki sebagian besar saham, dan mayoritas saham harus dimiliki oleh perusahaan angkutan laut Indonesia. Peraturan ini membawa implikasi yang signifikan bagi perusahaan pelayaran asing atau internasional yang ingin melakukan usaha patungan dengan perusahaan pelayaran Indonesia. Peraturan baru ini juga secara tidak langsung mendorong perusahaan pelayaran nasional untuk meningkatkan kepemilikan kapal.
Dalam pemberdayaan Pelayaran Rakyat, undang-undang sebelumnya mengatur kategori ini dalam Pasal 15-16 yang secara garis besar menjelaskan tentang definisi, pemberdayaan, dan pengembangan pelayaran tradisional. Dalam RUU yang baru, undang-undang ini memperkuat peraturan seputar Pelayaran Rakyat dengan menambahkan lima pasal tambahan di antara Pasal 15-16. Pasal-pasal tambahan ini mempromosikan kapal-kapal tradisional dengan standar desain dan spesifikasi baru untuk keselamatan dan kelestarian lingkungan. Sebagai contoh, ada standar dan spesifikasi yang diperlukan pada Pelayaran Rakyat termasuk material yang memadai, ruang, ukuran berdasarkan jenis transportasi dan desain standar. Dalam hal pemberdayaan, pasal-pasal tersebut memberikan informasi rinci tentang jenis-jenis pemberdayaan, yang melibatkan pengembangan sumber daya manusia, kapal, galangan kapal, dan kapasitas kargo. RUU ini juga menguraikan insentif bagi pelayaran tradisional untuk meningkatkan konektivitas ke daerah-daerah terpencil dari pemerintah kabupaten/kota, provinsi, dan nasional. RUU ini lebih telah mengatur tentang keselamatan maritim terhadap pelayaran rakyat yang sebelumnya tidak ada. Perubahan signifikan lainnya adalah bahwa menurut draf RUU ini, perusahaan-perusahaan yang beroperasi dalam pelayaran skala kecil dapat memperoleh manfaat dari dukungan pemerintah yang baru, terutama untuk layanan di daerah-daerah terpencil.
Mengacu pada Undang-Undang Pelayaran Nomor 17 Tahun 2008, Penjaga Laut dan Pantai di Indonesia adalah sebuah badan yang berkewajiban untuk memastikan keselamatan dan keamanan pelayaran, memastikan perintah dalam kegiatan penyelamatan, patroli laut, dan melakukan pengejaran[2]. Di sisi lain, ada juga Bakamla (Badan Keamanan Laut), TNI AL, dan Polisi Air yang mayoritas memiliki peran yang sama dengan Penjaga Laut dan Pantai[3]. Kewenangan yang tumpang tindih ini menimbulkan ketidakpastian bagi industri maritim dan kepastian terhadap aspek hukum kemaritiman secara keseluruhan. Pemerintah Indonesia meninjau kembali masalah ini dalam RUU yang baru, menentukan peran yang lebih jelas untuk memantau dan memastikan keselamatan dan keamanan maritim, terutama di sektor pelayaran. Pemerintah Indonesia telah menghapus pengertian dan tugas Penjaga Laut dan Pantai, dan mendelegasikannya kepada menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di sektor pelayaran. Selain itu, RUU yang baru juga memperjelas mekanisme klaim maritim. RUU yang baru telah menghapus klausul yang menyatakan bahwa penangkapan kapal harus dilakukan sesuai dengan peraturan Menteri Perhubungan dan mengamanatkan mekanisme penangkapan kapal sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Penghapusan klausul ini telah menjawab kerancuan yang selama ini beredar, sebab Peraturan Menteri Perhubungan mengenai tata cara penangkapan kapal tidak pernah ada.
RUU ini memperkenalkan sanksi administratif yang lebih tinggi untuk ketidakpatuhan terhadap peraturan pelayaran dan kepelabuhanan, termasuk penahanan kapal untuk klaim maritim yang belum terselesaikan dan pelanggaran keselamatan. Dalam undang-undang pelayaran sebelumnya, Pasal 284 mengatur bahwa setiap orang yang mengoperasikan kapal asing untuk mengangkut orang/barang antar pulau atau pelabuhan di wilayah perairan Indonesia dapat dipidana maksimal lima tahun penjara dan denda maksimal Rp 600 juta. Pasal ini kemudian direvisi menjadi maksimal sebelas tahun penjara dan denda maksimal berdasarkan kategori VII, yaitu sebesar Rp. 5 milyar[4]. Perubahan sanksi yang signifikan ini menunjukkan adanya pemaksaan yang lebih besar terhadap perusahaan yang melanggar ketentuan tersebut. Dengan kata lain, perusahaan harus memastikan kepatuhan penuh terhadap peraturan tentang standar keselamatan, asuransi, dan lingkungan untuk menghindari hukuman yang berat.
Undang-Undang Pelayaran Nomor 17 Tahun 2008 yang berlaku saat ini tidak banyak menguraikan kewajiban untuk menyediakan infrastruktur pelabuhan. Namun, rancangan undang-undang yang baru memperkenalkan kewajiban baru bagi pemerintah untuk menyediakan tidak hanya infrastruktur fisik dan fasilitas pelabuhan, namun pemerintah juga diberi mandat untuk menyediakan kapal untuk Pelayaran-Perintis. Mandat baru ini memastikan pengembangan sektor maritim yang kuat karena diamanatkan untuk meningkatkan kualitas pelabuhan Indonesia secara keseluruhan.
Berdasarkan tinjauan di atas, dapat disimpulkan bahwa perusahaan-perusahaan yang terkait dengan sektor pelayaran harus memastikan kepatuhan terhadap amandemen ini dan memanfaatkan peluang-peluang baru. Oleh karena itu, kami merekomendasikan agar semua operator maritim:
[1] Simon Ito, ‘Kewenangan PPNS Syahbandar Dalam Tindak Pidana Pelanggaran Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2008 Tentang Pelayaran’ (2021) 3 BalRev 224, 227 <https://garuda.kemdikbud.go.id/documents/detail/2738613>.
[2] Undang-Undang Pelayaran 17/2008, Art. 276-278.
[3] Undang-Undang Urusan Maritim 32/2014, Pasal 59(3); Undang-Undang Tentara Nasional Indonesia 34/2004, Pasal 9; Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2019 tentang sistem, pengelolaan dan standar keberhasilan operasional Kepolisian Negara Republik Indonesia, Lampiran.
[4]Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Indonesia 1/2023, Pasal 79(g).
This disclaimer applies to the publication of articles by Anggraeni and Partners. By accessing or reading any articles published by Anggraeni and Partners, you acknowledge and agree to the terms of this disclaimer:
During the preparation of this work, the author(s) may use AI-assisted technologies for readability. After using this tool/service, the author(s) reviewed and edited the content as needed for the purposes of the publication.
No Legal Advice: The articles published by Anggraeni and Partners are for informational purposes only and do not constitute legal advice. The information provided in the articles is not intended to create an attorney-client relationship between Anggraeni and Partners and the reader. The articles should not be relied upon as a substitute for seeking professional legal advice. For specific legal advice tailored to your individual circumstances, please consult a qualified attorney.
Accuracy and Completeness: Anggraeni and Partners strive to ensure the accuracy and completeness of the information presented in the articles. However, we do not warrant or guarantee the accuracy, currency, or completeness of the information. Laws and legal interpretations may vary, and the information in the articles may not be applicable to your jurisdiction or specific situation. Therefore, Anggraeni and Partners disclaim any liability for any errors or omissions in the articles.
No Endorsement: Any references or mentions of third-party organizations, products, services, or websites in the articles are for informational purposes only and do not constitute an endorsement or recommendation by Anggraeni and Partners. We do not assume responsibility for the accuracy, quality, or reliability of any third-party information or services mentioned in the articles.
No Liability: Anggraeni and Partners, its partners, attorneys, employees, or affiliates shall not be liable for any direct, indirect, incidental, consequential, or special damages arising out of or in connection with the use of the articles or reliance on any information contained therein. This includes but is not limited to, loss of data, loss of profits, or damages resulting from the use or inability to use the articles.
No Attorney-Client Relationship: Reading or accessing the articles does not establish an attorney-client relationship between Anggraeni and Partners and the reader. The information provided in the articles is general in nature and may not be applicable to your specific legal situation. Any communication with Anggraeni and Partners through the articles or any contact form on the website does not create an attorney-client relationship or establish confidentiality.
By accessing or reading the articles, you acknowledge that you have read, understood, and agreed to this disclaimer. If you do not agree with any part of this disclaimer, please refrain from accessing or reading the articles published by Anggraeni and Partners.
P: 6221. 7278 7678, 72795001
H: +62 811 8800 427
Anggraeni and Partners, an Indonesian law practice with a worldwide vision, provides comprehensive legal solutions using forward-thinking strategies. We help clients manage legal risk and resolve disputes on admiralty and maritime law, complicated energy and commercial issues, arbitration and litigation, tortious claims handling, and cyber tech law.
S.F. Anggraeni
Managing Partner
Orima Melati Davey
Researcher
Ocean-Maritime-Climate Research Group