Kecerdasan Buatan di Bidang Hukum: Pengarusutamaan Kepatuhan dan Uji Tuntas
Setyawati Fitrianggraeni, Sri Purnama, Orima Melati Davey
LATAR BELAKANG
Kepatuhan hukum adalah ketika perusahaan mematuhi aturan, kebijakan, dan prosedur kompleks yang mengatur praktik bisnis di yurisdiksi tertentu.[1] Uji tuntas hukum adalah pemeriksaan menyeluruh yang dilakukan oleh konsultan hukum terhadap suatu perusahaan atau objek untuk memperoleh informasi atau fakta material untuk menentukan kondisi suatu perusahaan atau objek transaksi.[2] Meningkatnya kompleksitas kepatuhan hukum dan uji tuntas berasal dari peraturan yang semakin rumit dan lingkungan bisnis yang mengglobal. Ketika peraturan berkembang dan konsekuensi dari ketidakpatuhan menjadi lebih parah, organisasi menghadapi pengawasan yang lebih ketat dan potensi risiko hukum.
Kecerdasan Buatan atau Artificial Intelligence (AI) merevolusi cara bisnis melakukan kepatuhan hukum dan uji tuntas. Dengan memanfaatkan algoritme canggih dan pembelajaran mesin, organisasi dapat mengotomatiskan analisis data, mengidentifikasi potensi masalah kepatuhan, dan menilai risiko dengan lebih efisien.[3] Alat AI dapat dengan cepat menyaring sejumlah besar informasi, menandai anomali, dan memberikan wawasan yang membutuhkan waktu lebih lama untuk diungkap oleh tim manusia. Uji tuntas AI melibatkan penggunaan algoritme canggih dan teknik pembelajaran mesin untuk merampingkan proses penilaian, meningkatkan pengambilan keputusan, dan mengurangi risiko yang terkait dengan transaksi bisnis.[4] Ini meningkatkan akurasi dan memungkinkan profesional hukum dan kepatuhan untuk fokus pada pengambilan keputusan strategis, yang mengarah pada manajemen risiko dan kepatuhan terhadap peraturan yang lebih efektif. Oleh karena itu, artikel ini akan membahas bagaimana AI dapat merampingkan dan meningkatkan tugas kepatuhan dan uji tuntas.
MANFAAT AI DALAM KEPATUHAN HUKUM DAN UJI TUNTAS
AI mengubah kepatuhan hukum dan proses uji tuntas melalui aplikasi penting yang meningkatkan efisiensi dan akurasi.[5] Dalam lingkup itu, AI akan bekerja setidaknya untuk melakukan tinjauan dokumen otomatis, penilaian risiko, pemantauan peraturan, dll. Keajaiban AI dalam ranah kepatuhan hukum mengungkapkan banyak keuntungan. Sebagai permulaan, AI memiliki potensi untuk meningkatkan efisiensi secara signifikan. Tugas kepatuhan tradisional sebelumnya menyita waktu lama bagi para pakar hukum sekarang dapat diselesaikan dalam waktu singkat.[6]
Salah satu manfaat utama AI dalam uji tuntas adalah kemampuannya untuk menangani kumpulan data yang kompleks dan melakukan analitik prediktif, yang dapat membantu profesional hukum mengantisipasi potensi masalah sebelum muncul. Misalnya, AI dapat menganalisis data historis untuk memprediksi kemungkinan perselisihan hukum di masa depan atau tantangan peraturan, memungkinkan perusahaan membuat keputusan yang lebih tepat selama merger, akuisisi, dan transaksi lainnya.[7]
Kemampuan AI untuk memanfaatkan analitik prediktif memungkinkan organisasi untuk meramalkan potensi risiko dan menerapkan langkah-langkah proaktif, sehingga melindungi dari pelanggaran hukum. Secara keseluruhan, mengadopsi AI merampingkan alur kerja dan memberdayakan profesional hukum untuk membuat keputusan yang lebih tepat, yang pada akhirnya mengarah pada kerangka kerja kepatuhan yang lebih kuat.
TANTANGAN AI DALAM KEPATUHAN HUKUM DAN UJI TUNTAS
Penggunaan AI dalam praktik hukum menimbulkan berbagai masalah hukum dan etika. Prinsip-prinsip dasar hukum yang mengatur pengacara dan tanggung jawab profesional terlibat dalam perubahan yang dibawa oleh alat AI, termasuk akurasi dan akuntabilitas, kerahasiaan, transparansi dan kepercayaan, pengawasan, komunikasi, dan tanggung jawab atas kesalahan.[8] Mengintegrasikan teknologi AI dengan sistem kepatuhan terhadap peraturan saat ini bisa jadi rumit dan menantang. Banyak organisasi mengandalkan sistem dan proses lama yang mungkin tidak mudah selaras dengan solusi AI kontemporer. Integrasi ini memerlukan investasi besar dalam teknologi dan infrastruktur serta penyesuaian pada proses bisnis dan alur kerja.[9]
Selain itu, menggunakan AI dalam kepatuhan hukum dan uji tuntas akan memenuhi data sensitif, seperti data rahasia klien atau perusahaan. Dalam konteks ini, data sensitif dapat mencakup nama, alamat, dan data pribadi lainnya, serta catatan kinerja dan disiplin saat mengevaluasi detail tenaga kerja. Mengingat sensitivitas ini, keamanan data muncul sebagai perhatian yang signifikan saat menggunakan sistem AI untuk operasi yang melibatkan informasi tersebut. Selain itu, ada risiko yang cukup besar terkait dengan insiden peretasan, akses tidak sah, dan potensi penyalahgunaan data sensitif.[10]
POSISI INDONESIA DALAM MENGATUR AI
Posisi Indonesia tentang AI difokuskan pada kewajiban dan/atau tanggung jawab lebih dari karakteristik unik AI itu sendiri. Hal ini dikarenakan dengan istilah “AI” belum secara eksplisit dimasukkan sebagai subjek hukum dalam peraturan perundang-undangan Indonesia. Interpretasi Bahasa Indonesia diperlukan untuk menilai apakah kecerdasan buatan (AI) memenuhi syarat sebagai badan hukum di Indonesia, karena saat ini belum ada peraturan khusus yang menangani masalah ini.[11] Untuk melihat relevansinya, penelitian ini akan mengilustrasikan pengaruh mereka adalah sektor. Artikel ini akan menjelaskan sikap Indonesia terhadap regulasi AI sesuai dengan Sektor Transaksi Elektronik, Hak Kekayaan Intelektual, Keuangan, dan Data Pribadi.
Salah satu topik paling kontroversial tentang AI adalah seberapa jauh AI mengintervensi hak kekayaan intelektual, terutama hak cipta. Undang-Undang No. 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta mengatur pembatasan dan harapan hak cipta termasuk hak ekonomi dan moral yang hanya dapat dimiliki oleh manusia atau badan hukum. Hak moral diterjemahkan sebagai hak untuk menolak tindakan terhadap karya, sedangkan hak ekonomi mengacu pada manfaat yang diperoleh darinya.[12] Tantangannya adalah bagaimana menentukan siapa yang bertanggung jawab ketika plagiarisme dilakukan oleh AI. Di masa depan, harus ada perbedaan dan identifikasi yang jelas antara pencipta AI, pengguna, dan tanggung jawab pengembang. Juga, masih ada perdebatan besar tentang apakah ada “penulis” yang sebenarnya dalam karya yang dihasilkan AI.
Karena AI adalah karya yang dihasilkan teknologi, maka masuk akal jika sebagian besar peristiwa hukum yang berkaitan dengan AI adalah di bidang transaksi elektronik. Di bidang ini, Undang-Undang No. 19 Tahun 2016 tentang Informasi dan Elektronik mengatur privasi dan perlindungan data pribadi pada pengguna teknologi digital, yang sebelumnya diakui sebagai Undang-Undang No. 11 Tahun 2008. Undang-undang ini secara umum mengatur perlindungan terhadap kegiatan yang menggunakan internet, baik untuk mengumpulkan informasi maupun transaksi. Sehubungan dengan AI, UU Informasi dan Elektronik tidak secara eksplisit menggunakan istilah AI meskipun UU ini menguraikan penegakan hukum terhadap kejahatan tertentu sebagai dampak dari AI misalnya malware. Pada tahun 2017, dua rumah sakit di Jakarta, Rumah Sakit Harapan Kita dan Rumah Sakit Dharmais, mengalami insiden serangan malware yang melibatkan enkripsi data pasien dan mengunci sistem komputer, menyebabkan rumah sakit berhenti beroperasi.[13] Indonesia masih dalam proses untuk mengintegrasikan AI melalui pendekatan yang lebih kompleks, tetapi kita sudah menghadapi berbagai ancaman keamanan siber. Dalam konteks ini, AI berfungsi sebagai “pedang bermata dua”, yang berarti dapat meningkatkan pertahanan keamanan siber sekaligus berpotensi memungkinkan serangan siber yang lebih canggih. Ketika Indonesia bekerja menuju regulasi yang lebih komprehensif tentang AI, kekhawatiran ini harus ditangani secara signifikan dalam perencanaan kebijakan masa depan.
AI juga menyebar di sektor keuangan Indonesia terlihat melalui berbagai pembayaran non-tunai dan pinjaman online. Digitalisasi sistem keuangan Indonesia yang pesat dipercepat oleh semakin luasnya peluang digital, didorong oleh pesatnya inovasi teknologi finansial atau financial technology (fintech) sejak 2016. Pemain yang didanai dengan kuat di luar sektor perbankan, mulai dari startup hingga raksasa teknologi global, telah mengembangkan dan mereplikasi berbagai model bisnis, produk, dan layanan seperti perbankan. Sebagai tanggapan, bank juga telah mengalami transformasi digital end-to-end yang ekstensif.[14] Terlepas dari upaya ini, preferensi konsumen dan pedagang untuk layanan teknologi keuangan, terutama solusi pembayaran, terus tumbuh. Pergeseran ini terbukti dengan meningkatnya penggunaan e-money, yang secara bertahap mengurangi ketergantungan pada perbankan digital untuk transaksi pembayaran. Oleh karena itu, Di sektor keuangan, Peraturan Bank Indonesia atau Peraturan Bank Indonesia (PBI) No. 19/12/PBI/2017 tentang Inovasi Keuangan Digital mengatur penggunaan teknologi digital di sektor keuangan. Peraturan lain yang berinteraksi dengan AI adalah Peraturan Otoritas Jasa Keuangan (POJK) No. 1/POJK. 07/2013 tentang Perlindungan Konsumen di Sektor Jasa Keuangan. Peraturan ini menekankan hak konsumen, privasi dan keamanan data, serta penyelesaian sengketa. Dengan demikian POJK 1/2013 menyediakan lingkungan yang aman bagi konsumen sekaligus mempromosikan lembaga keuangan untuk bertanggung jawab berdasarkan standar etika.[15] Istilah AI tidak disebutkan dalam instrumen ini, tetapi prinsip-prinsip tersebut merupakan dasar bagi AI dalam teknologi jasa keuangan untuk dimanfaatkan dengan aman. Di bawah ini adalah matriks tentang hukum positif Indonesia tentang AI:
Tabel Hukum Positif Indonesia Terkait AI
Tidak. | Instrumen | Ketentuan | Relevansi dengan AI |
1. | Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 | Pasal 2 dan 5 menyatakan bahwa penulis memiliki hak ekonomi dan moral, terutama untuk hak moral mereka merupakan penghubung penting antara pencipta dan karyanya | Relevan dengan AI, hak-hak ini tidak dapat dialihkan dan menyoroti perbedaan antara kepengarangan manusia dan kreasi yang dihasilkan mesin |
2. | Undang-Undang No. 19/2016 | Pasal 26 menyatakan bahwa data pribadi melalui media elektronik harus ditransfer atas persetujuan pemilik. | Relevan dengan AI, tidak ada relevansi yang signifikan dengan AI selain kelalaian atau niat subjek hukum untuk melakukan kejahatan ini |
2. | PBI No. 19/12/2017 | Pasal 1 mengatur definisi teknologi finansial
Pasal 3 mengatur teknologi finansial termasuk pinjaman, pendanaan, penyediaan modal, dan banyak lagi |
Relevansi AI dalam teknologi keuangan adalah penggunaan Big Data dan Internet of Things yang semakin meningkat |
4. | POJK No. 1/POJK.07/2013 | Pasal 2 mengatur prinsip-prinsip transparansi, keadilan, keandalan, keamanan data dan kerahasiaan, | Relevansi dengan AI adalah bahwa dalam penggunaan produk keuangan yang digerakkan oleh AI, transparansi dalam cara algoritme menentukan skor kredit, atau persetujuan pinjaman harus jelas bagi pelanggan. |
Tabel di atas menunjukkan bahwa posisi Indonesia terhadap regulasi AI masih jauh dari komprehensif. Seperti disebutkan sebelumnya, tidak ada interpretasi hukum tentang istilah “kecerdasan buatan” itu sendiri. Kekosongan ini menyebabkan ketidakpastian hukum, itulah sebabnya kami melihat banyak kesenjangan dalam instrumen di atas. Misalnya, bagaimana mempertimbangkan AI sebagai penulis di bidang hak cipta, bagaimana mengidentifikasi siapa yang bertanggung jawab atas kejahatan malware, dan siapa yang menjamin keamanan data dalam teknologi jasa keuangan. Oleh karena itu, undang-undang mendesak tentang penggunaan AI di Indonesia harus menjadi prioritas.
Selain undang-undang positif, ada juga pedoman etika penggunaan AI oleh berbagai lembaga dan organisasi di Indonesia, di antaranya adalah Komnas HAM, Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (Aprindo), Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan Keuangan (BPKP). OJK juga merilis kode etik berjudul “Kecerdasan Buatan Kecerdasan Buatan/AI)” dan membahas penggunaan AI yang bertanggung jawab dan terpercaya di bidang FINTECH. Pedoman ini menjelaskan prinsip-prinsip utama yang bertanggung jawab dan dapat dipercaya untuk AI berdasarkan Pancasila, yaitu bermanfaat, adil dan akuntabel, transparan dan dapat dijelaskan, dengan kekokohan dan keamanan.
KESIMPULAN
Kesimpulannya, mengintegrasikan AI dalam kepatuhan hukum dan uji tuntas merupakan kemajuan yang signifikan dalam cara organisasi menavigasi kompleksitas kerangka peraturan AI meningkatkan efisiensi, akurasi, dan kemampuan pengambilan keputusan, memungkinkan profesional hukum untuk mengotomatiskan tugas-tugas yang memakan waktu dan fokus pada inisiatif strategis. Namun, transformasi tetapi memiliki tantangan tantangan. Organisasi harus mengatasi masalah yang berkaitan dengan keamanan data, integrasi dengan sistem lama, dan pertimbangan etis seputar penggunaan AI. Karena lanskap hukum terus berkembang, merangkul teknologi AI akan sangat penting bagi organisasi yang ingin mengurangi risiko dan memastikan kepatuhan dalam lingkungan yang semakin kompleks. Bisnis dapat memanfaatkan AI untuk meningkatkan kepatuhan dan mencapai kerangka hukum yang lebih kuat dan tangguh dengan menyeimbangkan manfaat dan tantangan dengan hati-hati. Hingga saat ini, Indonesia tidak memiliki peraturan AI yang komprehensif, yang mengarah pada area ketidakpastian hukum di bidang-bidang utama seperti hak cipta, keamanan siber, dan perlindungan data. Tidak ada definisi yang jelas tentang AI dalam undang-undang, sehingga tidak jelas siapa yang bertanggung jawab atas konten atau kejahatan yang dihasilkan AI, dan bagaimana keamanan data ditangani dalam teknologi keuangan. Reformasi hukum yang mendesak diperlukan untuk mendefinisikan peran AI di seluruh sektor, termasuk transaksi elektronik, kekayaan intelektual, keuangan, dan data pribadi.
REFERENSI
Jurnal
Anum Shahid, “Mengubah Praktik Hukum: Peran AI dalam Hukum Modern”, Jurnal Kebijakan Strategis dan Urusan Global, 4(1): Desember 2023.
Ebube Victor Emeihe, “Dampak kecerdasan buatan terhadap kepatuhan terhadap peraturan di industri minyak dan gas”, Jurnal Internasional Arsip Penelitian Ilmu Hayati, 07 (1): 2024.
Mochammad Tanzil Multazam, et.al., “Standar untuk melakukan uji tuntas hukum: Perkembangan Saat Ini”, Jurnal Hukum dan Tinjauan Ekonomi Indonesia, 15: Mei 2022.
Orima Melati Davey, Levin Sauerwein, “Deepfake dalam Kasus Online: Kabut Akuntabilitas Kecerdasan Buatan Berdasarkan Hukum Internasional”, Sriwijaya Crimen and Legal Studies, (01)2:2023.
Koko Srimulyo, Yula Anggtiani, Faizal Kurniawan, “Pemanfaatan Manajemen Akses Koleksi Digital: Persyaratan dan Tantangan oleh Undang-Undang”, Jurnal Hukum UNISSULA, 40(1):2024.
Donovan Typhano Rachmadie, Supanto, “Regulasi Penyimpangan Artificial Intelligence pada Tindak Pidana Malware Berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 19 tahun 2016”, Recidive, 09(2):2020.
Yustisiana Susila Atmaja, Darminto Hartono Paulus, “Partisipasi Bank Indonesia dalam Pengaturan Digitalisasi Sistem Pembayaran Indonesia”, Jurnal Masalah-Masalah Hukum, 51(3):2022.
Alexander Salim, Hono Sejati, Tri Susilowati, “Perlindungan Hukum bagi Konsumen atas Data Pribadi dalam Penggunaan Teknologi Finansial”, UNES LAW Review, 06(4):2024.
Website dan lainnya
Institut Hukum Internasional dan Perbandingan Inggris, “Penggunaan Kecerdasan Buatan dalam Praktek Hukum”, https://www.biicl.org/documents/170_use_of_artificial_intelligence_in_legal_practice_final.pdf diakses tanggal 24 September 2024.
Jessica Donohue, “Apa itu kepatuhan hukum?”, Diligent, https://www.diligent.com/resources/blog/steps-evaluating-legal-compliance https://www.diligent.com/resources/blog/steps-evaluating-legal-compliance diakses tanggal 23 September 2024.
LeewayHertz, “AI untuk uji tuntas: Aplikasi, manfaat, solusi, dan Implementasi”, https://www.leewayhertz.com/ai-in-due-diligence/ diakses 23 September 2024.
Nn, “Peran AI dalam Masa Depan Uji Tuntas Hukum”, Hukum AI – Tinjauan Internasional Hukum Kecerdasan Buatan, https://www.reviewofailaw.com/Tool/Evidenza/Single/view_html?id_evidenza=1020 diakses 23 September 2024.
Saida Abbasli, “Meningkatkan Uji Tuntas Sambil Menjunjung Tinggi Kepatuhan: Analisis Integrasi AI dalam Konteks Merger dan Akuisisi dan Kompatibilitasnya dengan Undang-Undang AI UE”, Tesis Magister Universitas Lund, 2024, chrome https://lup.lub.lu.se/luur/download?func=downloadFile&recordOId=9155896&fileOId=9155897 diakses tanggal 24 September 2024.
Stephen Amell, “AI dalam Uji Tuntas: Merevolusi Proses Penilaian”, Medium, https://medium.com/@iamamellstephen/ai-in-due-diligence-revolutionizing-the-assessment-process-a1c25e9fbe9c diakses tanggal 23 September 2024.
Swapnish Khanolkar, “Beyond The Hype: Real-World Use of AI in Legal Compliance”, GS, https://www.gitselect.com/post/beyond-the-hype-real-world-use-of-ai-in-legal-compliance diakses 23 September 2024.
[1] Jessica Donohue, “Apa itu kepatuhan hukum?”, Rajin, https://www.diligent.com/resources/blog/steps-evaluating-legal-compliance diakses tanggal 23 September 2024.
[2] Mochammad Tanzil Multazam, et.al., “Standar untuk melakukan uji tuntas hukum: Perkembangan saat ini”, Jurnal Tinjauan Hukum dan Ekonomi Indonesia, 15: Mei 2022, hlm. 7.
[3] Anum Shahid, “Mengubah Praktik Hukum: Peran AI dalam Hukum Modern”, Jurnal Kebijakan Strategis dan Urusan Global, 4(1): Desember 2023, hlm. 37-38.
[4] Stephen Amell, “AI dalam Uji Tuntas: Merevolusi Proses Penilaian”, Medium, https://medium.com/@iamamellstephen/ai-in-due-diligence-revolutionizing-the-assessment-process-a1c25e9fbe9c diakses tanggal 23 September 2024.
[5] LeewayHertz, “AI untuk uji tuntas: Aplikasi, manfaat, solusi, dan Implementasi”, https://www.leewayhertz.com/ai-in-due-diligence/ diakses 23 September 2024.
[6] Swapnish Khanolkar, “Melampaui Hype: Penggunaan AI di Dunia Nyata dalam Kepatuhan Hukum”, GS, https://www.gitselect.com/post/beyond-the-hype-real-world-use-of-ai-in-legal-compliance diakses 23 September 2024.
[7] Nn, “Peran AI dalam Masa Depan Uji Tuntas Hukum”, Hukum AI – Tinjauan Internasional Hukum Kecerdasan Buatan, https://www.reviewofailaw.com/Tool/Evidenza/Single/view_html?id_evidenza=1020 diakses 23 September 2024.
Institut Hukum Internasional dan Perbandingan Inggris, “Penggunaan Kecerdasan Buatan dalam Praktek Hukum”, https://www.biicl.org/documents/170_use_of_artificial_intelligence_in_legal_practice_final.pdf diakses tanggal 24 September 2024.
[9] Ebube Victor Emeihe, “Dampak kecerdasan buatan terhadap kepatuhan terhadap peraturan di industri minyak dan gas”, Jurnal Internasional Arsip Penelitian Ilmu Hayati, 07 (1): 2024, hlm. 34.
[10] Saida Abbasli, “Meningkatkan Uji Tuntas Sambil Menjunjung Tinggi Kepatuhan: Analisis Integrasi AI dalam Konteks Merger dan Akuisisi dan Kompatibilitasnya dengan Undang-Undang AI UE”, Tesis Magister Universitas Lund, 2024, chrome https://lup.lub.lu.se/luur/download?func=downloadFile&recordOId=9155896&fileOId=9155897 diakses tanggal 24 September 2024.
[11] Orima Melati Davey, Levin Sauerwein, “Deepfake dalam Kasus Online: Kabut Akuntabilitas Kecerdasan Buatan Berdasarkan Hukum Internasional”, Studi Kriminal dan Hukum Sriwijaya, (01)2:2023:hal.94.
[12] Koko Srimulyo, Yula Anggtiani, Faizal Kurniawan, “Pemanfaatan Manajemen Akses Koleksi Digital: Persyaratan dan Tantangan oleh Undang-Undang”, Jurnal Hukum UNISSULA, 40(1):2024, hlm.210.
[13] Donovan Typhano Rachmadie, Supanto, “Regulasi Penyimpangan Artificial Intelligence pada Tindak Pidana Malware Berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 19 tahun 2016”, Recidive, 09(2):2020, p.130.
[14] Yustisiana Susila Atmaja, Darminto Hartono Paulus, “Partisipasi Bank Indonesia dalam Pengaturan Digitalisasi Sistem Pembayaran Indonesia”, Jurnal Masalah-Masalah Hukum, 51(3):2022, p. 276.
[15] Alexander Salim, Hono Sejati, Tri Susilowati, “Perlindungan Hukum bagi Konsumen atas Data Pribadi dalam Penggunaan Teknologi Finansial”, UNES LAW Review, 06(4):2024, hlm. 11431.