MOTHER’S NATURE: BAGAIMANA HUKUM INDONESIA MELINDUNGI HAK-HAK CUTI HAMIL DALAM KAITANNYA DENGAN DEPRESI PASCAPERSALINAN
Setyawati Fitrianggraeni, Alicia Daphne Anugerah, Khaira Aziza Nathin
LATAR BELAKANG
Depresi pascapersalinan atau Post-Partum Depression (PPD) adalah masalah kesehatan mental utama yang mempengaruhi banyak ibu baru di Indonesia.[1] Dilaporkan bahwa 57% (lima puluh tujuh) ibu baru di Indonesia menderita PDD.[2] PDD terjadi setelah melahirkan, dengan gejala termasuk kesedihan yang berkepanjangan, kecemasan, kelelahan dan kesulitan menjalin ikatan dengan bayi yang baru lahir. Urgensi masalah ini dapat dilihat dari adanya insiden tragis, seperti kasus di mana seorang ibu mencoba melemparkan bayinya ke rel kereta api.[3] Efek PPD kontras dengan harapan masyarakat di Indonesia, di mana seorang ibu diharapkan tidak pernah menunjukkan tanda-tanda kesedihan, keluhan, atau kelemahan.[4] Akses ke layanan kesehatan mental sangat terbatas di daerah pedesaan, memperburuk situasi. Meskipun upaya sedang dilakukan untuk meningkatkan kesadaran dan menyediakan sistem pendukung yang lebih baik, tantangan tetap ada dalam mengatasi hambatan budaya dan struktural untuk perawatan dan perawatan yang efektif.
RELEVANSI CUTI HAMIL TERHADAP PENURUNAN DEPRESI PASCAPERSALINAN
“Baby blues”, kondisi pascapersalinan yang lebih ringan yang dipengaruhi oleh delapan puluh persen ibu, berlangsung hingga dua minggu. Setelah durasi tersebut, kondisinya akan memburuk. Tidak seperti baby blues, depresi pascapersalinan bisa berlangsung hingga satu tahun.[5] Ibu yang bekerja rentan berisiko lebih besar mengalami depresi pascapersalinan. Hal ini dikarenakan ibu yang bekerja diharapkan dapat beradaptasi dengan tanggung jawab baru sebagai ibu sekaligus menyulap beban kerja dan pengasuh. Keadaan dapat meningkat jika para ibu berada di lingkungan yang tidak mendukung.[6][7] Tanpa intervensi, PPD dapat meningkat menjadi psikosis yang akan menyebabkan halusinasi, delusi, dan peningkatan kemungkinan bunuh diri.[8]
POSISI INDONESIA TENTANG CUTI HAMIL BAGI IBU YANG BEKERJA
Indonesia menyediakan cuti hamil bagi ibu yang bekerja sebagai bagian dari undang-undang ketenagakerjaannya, yang mencerminkan komitmen negara untuk mendukung perempuan selama periode kritis persalinan.
Undang-Undang Ketenagakerjaan No. 13 Tahun 2003 | |
Pasal 82(1) | Pekerja/buruh perempuan berhak beristirahat selama 1,5 (satu setengah) bulan sebelum melahirkan dan 1,5 (satu setengah bulan) bulan setelah melahirkan menurut perhitungan dokter kandungan atau bidan menurut perhitungan dokter kandungan atau bidan |
Undang-Undang Kesejahteraan Ibu dan Anak No. 4 Tahun 2024 (“UU KIA”) | |
Pasal 4(3) | cuti hamil dengan ketentuan sebagai berikut: 1. minimal 3 (tiga) bulan pertama; dan 2. maksimal 3 (tiga) bulan berikutnya jika terdapat kondisi khusus yang dibuktikan dengan surat keterangan dokter. |
Pasal 4(4) | Cuti hamil sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf a harus diberikan oleh pemberi kerja. |
Pasal 4(5) | Kondisi khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf a angka 2 meliputi: a. Ibu yang mengalami masalah kesehatan, masalah kesehatan, dan/atau komplikasi atau keguguran pascapersalinan ; dan/atau b. Anak yang lahir saat mengalami masalah kesehatan, masalah kesehatan, dan/atau komplikasi. |
Pasal 5 | (1) Setiap ibu yang menggunakan hak-hak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (3) huruf a dan huruf b tidak dapat diberhentikan dari pekerjaannya dan tetap memperoleh haknya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang ketenagakerjaan.(2) Setiap ibu yang menggunakan hak-hak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (3) huruf a berhak menerima upah: a. secara penuh selama 3 (tiga) bulan pertama; b. secara penuh untuk bulan keempat; dan c. 75% (tujuh puluh lima persen) dari upah untuk bulan kelima dan keenam. (3) Dalam hal Ibu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diberhentikan dari pekerjaannya dan/atau tidak memperoleh haknya, Pemerintah Pusat dan/atau Pemerintah Daerah memberikan bantuan hukum sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. |
Undang-Undang KIA terbaru Indonesia memberikan ibu yang bekerja untuk cuti hamil minimal 3 bulan dan ini dapat diperpanjang selama tiga bulan lagi menjadi enam bulan hingga tujuh setengah bulan.[9]Tambahan cuti hamil harus dilakukan sesuai dengan rekomendasi dari praktisi medis.[10] Namun, menurut standar internasional, kebijakan cuti hamil wajib Indonesia masih bisa dianggap singkat. Terbatasnya durasi cuti hamil mungkin tidak cukup untuk semua ibu, terutama mereka yang mengalami PPD.
Ada diskusi yang berkembang tentang memperpanjang cuti hamil dan meningkatkan dukungan di tempat kerja, terutama mengingat tren global yang menganjurkan cuti yang lebih lama untuk mempromosikan kesehatan ibu dan anak. Khususnya, Konvensi Perlindungan Bersalin No. 183 tahun 2000 menyatakan bahwa perempuan berhak atas cuti hamil tidak kurang dari 14 minggu (3,2 bulan) tetapi merekomendasikan untuk meningkatkan periode tersebut menjadi 18 minggu (4 bulan), yang merupakan rata-rata global saat ini. Perlu diingatkan bahwa cuti hamil di Indonesia hanya berlangsung selama tiga bulan. Idealnya, durasi cuti hamil harus mencakup proses pemulihan ibu baru. [11]Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) merekomendasikan agar negara-negara menerapkan kebijakan cuti hamil wajib dengan durasi minimal enam bulan untuk memfasilitasi praktik menyusui eksklusif di antara ibu baru.[12] Memastikan akses yang lebih luas terhadap tunjangan cuti hamil, terutama bagi perempuan di sektor informal, tetap menjadi tantangan di Indonesia, yang menunjukkan perlunya kebijakan yang lebih inklusif.
KESIMPULAN
Kebijakan cuti hamil di Indonesia masih perlu perbaikan dan evaluasi lebih, terutama pada fakta bahwa cuti hamil wajib 3 bulan tidak mempromosikan pemberian ASI eksklusif. Meskipun ini mencerminkan pengakuan pemerintah akan pentingnya kesehatan dan pemulihan ibu, durasi yang relatif singkat dibandingkan dengan standar internasional dapat membatasi efektivitasnya dalam sepenuhnya memenuhi kebutuhan fisik, emosional dan psikologis ibu baru. Memperpanjang cuti hamil, bersama dengan menyediakan pengaturan kerja yang fleksibel dan sistem pendukung seperti akses ke layanan kesehatan mental, dapat secara signifikan menurunkan insiden PPD dengan memberi ibu waktu yang mereka butuhkan untuk sembuh dan menyesuaikan diri tanpa tekanan untuk kembali bekerja terlalu cepat.[13] Cuti hamil wajib yang diperpanjang telah terbukti menjadi sarana yang efektif untuk mempromosikan kesejahteraan anak-anak dan ibu baru. Perpanjangan cuti hamil memiliki implikasi yang signifikan bagi kesejahteraan mental ibu dan anak-anaknya, serta untuk masa depan generasi Indonesia. Ketika diskusi tentang perpanjangan cuti hamil dan meningkatkan dukungan di tempat kerja mendapatkan momentum, terbukti bahwa ada kebutuhan yang meningkat untuk kebijakan yang lebih inklusif, terutama bagi ibu baru yang bekerja.
REFERENSI
Undang-Undang Ketenagakerjaan 13/2003
[1] CNN Indonesia, ‘BKKBN: 57 Persen Ibu di Indonesia Alami Baby Blues, Tertinggi se-Asia’ CNN (Jakarta, 1 February 2024).
[2] Ibid.
[3] Natasa Kumalasah Putri, ‘Ibu Nyaris Melempar Bayinya ke Rel Kereta Diduga Alami Baby Blues, Kenali Penyebab dan Gejalanya’ Liputan6 (Bandung, 6 September 2023).
[4] Sri Lestari, ‘Depresi pasca melahirkan membuat saya ingin bunuh diri bersama anak’ BBC Indonesia (21 April
[5] Karen Carlson; Saba Mughal; Yusra Azhar; Waquar Siddiqui. ‘Depresi Pascapersalinan’ Perpustakaan Kedokteran Nasional < https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK519070/#:~:text=The%20signs%20and%20symptoms%20of,to%20concentrate%2C%20and%20suicidal%20ideation.> diakses pada 15 Oktober 2024.
[6] Jolly Masih dan Chahat Masih, ‘Efek Depresi Pascapersalinan (PPD) pada Wanita Pekerja’ (2022) 5 Jurnal Tinjauan Kecemasan & Depresi | 148 <https://dx.doi.org/10.46527/2582-3264.148>.
[7] Jolly Masih et al., n 6, hlm. 2.
[8] Jolly Masih et al., n 6, hlm. 1.
[9] Hukum KIA, Pasal 4(3).
[10] Ibid.
[11] WHO, ‘Ringkasan Eksekutif Perawatan di Tempat Kerja Berinvestasi dalam Cuti dan Layanan Perawatan untuk Dunia Kerja yang Lebih Setara Gender’.
[12] L Strang dan M Broeks, ‘Kebijakan Cuti Melahirkan: Trade-Off Antara Tuntutan Pasar Tenaga Kerja dan Manfaat Kesehatan untuk Anak’ (2017) 6(4) Rand Health Triwulanan 9.
[13] Ibid.
This disclaimer applies to the publication of articles by Anggraeni and Partners. By accessing or reading any articles published by Anggraeni and Partners, you acknowledge and agree to the terms of this disclaimer:
During the preparation of this work, the author(s) may use AI-assisted technologies for readability. After using this tool/service, the author(s) reviewed and edited the content as needed for the purposes of the publication.
No Legal Advice: The articles published by Anggraeni and Partners are for informational purposes only and do not constitute legal advice. The information provided in the articles is not intended to create an attorney-client relationship between Anggraeni and Partners and the reader. The articles should not be relied upon as a substitute for seeking professional legal advice. For specific legal advice tailored to your individual circumstances, please consult a qualified attorney.
Accuracy and Completeness: Anggraeni and Partners strive to ensure the accuracy and completeness of the information presented in the articles. However, we do not warrant or guarantee the accuracy, currency, or completeness of the information. Laws and legal interpretations may vary, and the information in the articles may not be applicable to your jurisdiction or specific situation. Therefore, Anggraeni and Partners disclaim any liability for any errors or omissions in the articles.
No Endorsement: Any references or mentions of third-party organizations, products, services, or websites in the articles are for informational purposes only and do not constitute an endorsement or recommendation by Anggraeni and Partners. We do not assume responsibility for the accuracy, quality, or reliability of any third-party information or services mentioned in the articles.
No Liability: Anggraeni and Partners, its partners, attorneys, employees, or affiliates shall not be liable for any direct, indirect, incidental, consequential, or special damages arising out of or in connection with the use of the articles or reliance on any information contained therein. This includes but is not limited to, loss of data, loss of profits, or damages resulting from the use or inability to use the articles.
No Attorney-Client Relationship: Reading or accessing the articles does not establish an attorney-client relationship between Anggraeni and Partners and the reader. The information provided in the articles is general in nature and may not be applicable to your specific legal situation. Any communication with Anggraeni and Partners through the articles or any contact form on the website does not create an attorney-client relationship or establish confidentiality.
By accessing or reading the articles, you acknowledge that you have read, understood, and agreed to this disclaimer. If you do not agree with any part of this disclaimer, please refrain from accessing or reading the articles published by Anggraeni and Partners.
WWW.AP-LAWSOLUTION.COM
P: 6221. 7278 7678, 72795001
H: +62 811 8800 427
Anggraeni and Partners, an Indonesian law practice with a worldwide vision, provides comprehensive legal solutions using forward-thinking strategies. We help clients manage legal risk and resolve disputes on admiralty and maritime law, complicated energy and commercial issues, arbitration and litigation, tortious claims handling, and cyber tech law.
S.F. Anggraeni
Managing Partner